TSrlGUd7TSM5GSCoGfriTpCoBA==

Horologium dari Dunia Islam: Eksperimen Jam Bintang di Abad Pertengahan

Pada masa ketika menara jam belum menghiasi kota-kota besar Eropa, para ilmuwan Muslim di dunia Islam telah terlebih dahulu bereksperimen dengan jam bintang - sebuah instrumen yang mengukur waktu berdasarkan posisi benda-benda langit. Di masa itu, waktu bukan sekadar pembagian siang dan malam, tetapi merupakan bagian dari keteraturan kosmos yang mencerminkan harmoni antara langit dan bumi. Dari Baghdad hingga Andalusia, lahirlah berbagai horologium, karya mekanik dan astronomi yang menjadi tonggak penting dalam sejarah pengukuran waktu.

Image: Felix-Mittermeier - pixabay.com


Akar Kata dan Konsep Horologium

Kata horologium berasal dari bahasa Latin hora (jam/waktu) dan logion (ucapan atau pengukuran). Dalam konteks dunia Islam abad pertengahan, istilah ini merujuk pada alat penunjuk waktu berbasis astronomi - baik berupa jam air, jam matahari, jam mekanik, maupun jam bintang.

Namun, para ilmuwan Muslim lebih sering menggunakan istilah seperti sa‘ah (jam), miqyas al-zaman (pengukur waktu), atau binkamat untuk menyebut karya semacam ini. Meski istilahnya beragam, tujuannya sama: memahami keteraturan waktu dengan cara ilmiah dan visual.

Jam Bintang: Antara Sains dan Spiritualitas

Dalam tradisi Islam, waktu memiliki kedudukan istimewa. Lima waktu salat harian menuntut ketepatan astronomis, sementara penentuan awal bulan hijriyah bergantung pada peredaran bulan. Karena itu, pengukuran waktu menjadi disiplin ilmiah sekaligus spiritual.

Jam bintang (horologium stellarum) dikembangkan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Berbeda dari jam matahari yang bergantung pada bayangan gnomon, jam bintang mengandalkan tinggi atau posisi bintang tertentu - biasanya bintang terang seperti Sirius (al-Syi‘ra), Altair (al-Nasr al-Ṭa’ir), atau Canopus (Suhayl).

Melalui pengamatan posisi bintang saat terbit atau melintasi meridian, para astronom dapat menentukan waktu malam dengan ketepatan luar biasa, bahkan tanpa bantuan cahaya matahari.

Jejak Awal di Dunia Islam

Salah satu contoh tertua penggunaan horologium di dunia Islam ditemukan pada abad ke-9 M di Baghdad, di bawah patronase Khalifah Abbasiyah al-Ma’mun (813–833 M). Di masa itu, Bait al-Hikmah menjadi pusat eksperimen astronomi. Para ilmuwan seperti al-Khwarizmi, Habash al-Hasib, dan al-Farghani melakukan observasi untuk menyusun tabel astronomi (zij), termasuk pembagian waktu malam berdasarkan posisi bintang.

Beberapa manuskrip mencatat rancangan jam air astronomik (sa‘ah ma’iyyah falakiyyah), yang tidak hanya menunjukkan waktu, tetapi juga posisi Matahari dan bintang-bintang pada bola langit miniatur. Jam seperti ini dianggap sebagai bentuk horologium astronomicum - gabungan seni mekanik dan ilmu falak.

Karya Cemerlang di Andalusia dan Mesir

Sekitar dua abad kemudian, perhatian terhadap instrumen waktu semakin meningkat. Di Andalusia, ilmuwan seperti al-Zarqali (Arzachel) dan Ibn al-Shaṭir mengembangkan astrolabe modifikasi yang berfungsi ganda: sebagai peta langit dan jam bintang portabel. Astrolabe tersebut dilengkapi dengan garis-garis waktu malam (khutuṭ al-sa‘at al-layliyah) yang memudahkan pengguna menentukan jam dengan mengamati bintang yang melintasi horizon.

Sementara itu, di Mesir abad ke-13, seorang insinyur bernama Ibn al-Razzaz al-Jazari (1136–1206 M) menciptakan karya monumental: Kitab fi Ma‘rifat al-Ḥiyal al-Handasiyyah (Kitab Pengetahuan tentang Alat Mekanik). Dalam buku ini, al-Jazari menjelaskan rancangan jam gajah, jam kastel, dan jam burung merak, yang semuanya menggunakan sistem hidrolik dan mekanik yang sangat canggih untuk menunjukkan waktu siang dan malam.

Jam gajah Al-Jazari dalam kitabnya.


Walau jam-jam itu tidak semuanya menggunakan bintang secara langsung, prinsip mekaniknya mencerminkan semangat yang sama - menghubungkan pergerakan benda langit dengan mekanisme buatan manusia.

Horologium sebagai Eksperimen Ilmiah

Bagi para ilmuwan Islam, membuat jam bukan sekadar perkara praktis, melainkan juga eksperimen ilmiah untuk memahami langit. Pembuatan horologium menuntut penguasaan lintas disiplin:
  • Astronomi, untuk menghitung pergerakan benda langit.
  • Matematika, untuk menentukan proporsi roda gigi dan kecepatan aliran air.
  • Rekayasa mekanik, untuk mengubah energi potensial (air, gravitasi) menjadi gerak waktu.
  • Seni estetika, karena banyak jam dibuat sebagai simbol kemegahan sains Islam.
Beberapa manuskrip mencatat istilah mizān al-zaman - "penimbang waktu" - yang menunjukkan pandangan filosofis bahwa waktu harus “ditimbang” dengan keadilan dan presisi, sebagaimana manusia menimbang amalnya di akhirat.

Eksperimen horologium pada masa itu tidak hanya menghasilkan instrumen praktis, tetapi juga menumbuhkan budaya berpikir ilmiah berbasis observasi dan rasionalitas.

Contoh Nyata: Jam Bintang Damaskus

Salah satu peninggalan horologium paling menarik adalah jam bintang di Masjid Umayyah, Damaskus, yang konon dibuat oleh Muhammad ibn al-Ḥusayn pada abad ke-12 M. Jam ini menggunakan sistem mekanik dengan roda dan pemberat yang menggerakkan panel berbentuk cakram. Pada permukaannya terdapat tanda-tanda zodiak, posisi bulan, dan matahari.

Setiap malam, ketika bintang tertentu muncul di langit, jam itu akan menunjukkan fase waktu malam dengan membuka jendela kecil berlampu dari dalam. Mekanismenya begitu kompleks hingga dianggap mendahului jam astronomik Eropa setidaknya dua abad.

Sayangnya, banyak dari instrumen tersebut hilang atau rusak seiring perang dan penaklukan. Namun, catatan dan deskripsinya tetap hidup dalam literatur falak Islam.

Perbandingan dengan Eropa Abad Pertengahan

Menariknya, konsep horologium dari dunia Islam menjadi inspirasi bagi Eropa. Setelah kontak intensif melalui Perang Salib dan penerjemahan karya Arab ke Latin, ide-ide mekanik seperti sistem gear, roda jam, dan peta langit mulai muncul di Eropa.

Gerbert d’Aurillac (Paus Silvester II), misalnya, belajar astronomi dari ilmuwan Muslim di Spanyol dan membawa pulang pengetahuan tentang jam astronomik. Pada abad ke-14, kota-kota seperti Padua dan Strasbourg mulai membangun menara jam astronomik - yang prinsipnya sangat mirip dengan jam bintang dari dunia Islam.

Jam dinding di Strasbourg. Image (wikimedia).


Relevansi Horologium di Era Modern

Kini, jam bintang mungkin sudah tergantikan oleh sistem digital dan GPS, tetapi semangat eksperimen ilmuwan Islam tetap relevan. Horologium mengajarkan bahwa waktu bukan hanya angka, melainkan hasil dari keteraturan kosmos yang bisa dipahami dan direkayasa manusia.

Beberapa lembaga modern, termasuk komunitas pecinta falak di dunia Muslim, mulai membangun replika jam bintang berdasarkan deskripsi klasik - sebagai bagian dari upaya merekonstruksi warisan sains Islam.

Selain itu, proyek-proyek edukatif seperti volvelle astronomik atau astrolabe interaktif kini banyak digunakan di pesantren dan sekolah Islam modern untuk memperkenalkan kembali tradisi eksperimen ilmiah yang dulu menjadi ciri khas peradaban Islam.

Ketika Waktu Menjadi Cermin Langit

Horologium bukan sekadar alat, tetapi simbol keterhubungan antara manusia dan langit. Dalam pandangan ilmuwan Islam abad pertengahan, memahami waktu berarti memahami ciptaan Tuhan dalam tatanan yang paling halus. Dari tetes air yang menggerakkan roda jam hingga bintang yang menandai malam, semuanya adalah manifestasi dari keteraturan Ilahi.

Eksperimen jam bintang di dunia Islam bukan hanya pencapaian teknologi, melainkan juga refleksi spiritual bahwa sains dan iman dapat berjalan berdampingan - sebuah pelajaran berharga yang tetap bersinar dari abad pertengahan hingga hari ini.

Comments0

Mari bangun diskusi bersama.

Type above and press Enter to search.

Chat WhatsApp