TSrlGUd7TSM5GSCoGfriTpCoBA==

Sextant dalam Peradaban Islam, Penerus Instrumen Laut yang Dipakai Pelaut Eropa

Di abad-abad ketika samudra menjadi batas misteri, manusia menatap langit untuk mencari arah. Di situlah sextant, sebuah alat navigasi berbasis pengukuran sudut antara benda langit dan horizon, menjadi penentu arah bagi para pelaut. Namun sedikit yang tahu bahwa sebelum sextant dikenal di Eropa abad ke-18, akar ilmiahnya telah tumbuh di dunia Islam berabad-abad sebelumnya - dalam bentuk instrumen yang disebut kamal, kuadran nautika, dan astrolabe laut.

Inilah kisah tentang bagaimana ilmuwan dan pelaut Muslim menanam benih navigasi modern: Sextant Islam - jejak yang menghubungkan laut, langit, dan peradaban.

Image: SteenJepsen - pixabay.com


Menatap Laut dari Langit: Awal Navigasi Islam

Setelah penaklukan awal abad ke-7, dunia Islam menjelma menjadi jaringan maritim yang luas, menghubungkan Teluk Persia, Samudra Hindia, Laut Merah, hingga Laut Tengah. Para pelaut Muslim - dari Oman, Gujarat, hingga Andalusia - menjadi penghubung perdagangan, ilmu, dan budaya.

Namun pelayaran jarak jauh menuntut ketepatan arah dan posisi. Peta saja tidak cukup. Maka, mereka belajar membaca langit - memanfaatkan bintang, matahari, dan ketinggian horizon sebagai panduan. Dari sinilah lahir alat-alat astronomi maritim pertama yang kemudian menjadi inspirasi bagi sextant Eropa.

Kamal: Instrumen Pelayaran dari Samudra Hindia

Sebelum sextant ditemukan, pelaut Muslim di Samudra Hindia telah menggunakan alat sederhana bernama kamal.

Seorang pelaut sedang menggunakan Kamal di laut.



Kamal adalah papan kecil persegi panjang (biasanya dari kayu) yang dihubungkan dengan tali berpenanda simpul.

Cara kerjanya sangat elegan:

  1. Salah satu ujung tali diletakkan di mulut atau hidung pelaut.
  2. Papan kamal diarahkan ke bintang penunjuk (biasanya bintang Kutub, Polaris).
  3. Tali ditarik hingga papan menutupi jarak antara bintang dan horizon.
  4. Jumlah simpul pada tali menunjukkan lintang geografis pelaut.

Metode ini memungkinkan pelaut menentukan lintang laut dengan ketepatan yang cukup tinggi tanpa instrumen kompleks. Catatan-catatan Arab dan Persia abad ke-10 hingga ke-13 menunjukkan bahwa kamal digunakan luas di jalur pelayaran antara Oman, Yaman, India, dan Afrika Timur.

Bukti paling awal tentang kamal ditemukan dalam manuskrip Kitāb al-Fawā’id fī Uṣūl ‘Ilm al-Baḥr wa ’l-Qawā‘id (Buku Manfaat tentang Dasar Ilmu Laut dan Kaidahnya) karya Ahmad ibn Majid, pelaut dan navigator terkenal dari abad ke-15. Ia menjelaskan penggunaan kamal dengan sistem bintang-bintang tertentu untuk menentukan posisi kapal di Samudra Hindia.

Dari Kamal ke Kuadran Laut

Seiring meningkatnya kebutuhan navigasi ilmiah, para astronom Islam mulai memodifikasi kuadran darat (al-rub‘ al-mujayyab) menjadi kuadran laut (al-rub‘ al-bahri).

Kuadran laut berfungsi untuk mengukur tinggi matahari atau bintang di atas horizon laut, dengan sudut yang diukur oleh tali pemberat (plumb line) yang digantung di tengah kuadran.

Dari pengukuran itu, pelaut dapat menentukan lintang dan memperkirakan waktu siang.

Instrumen ini disebut dalam berbagai manuskrip navigasi Arab antara abad ke-13–15, terutama di pesisir Oman dan Yaman.

Bentuknya sederhana: busur seperempat lingkaran dari kayu keras dengan skala derajat, dua lubang bidik (al-manaẓir), dan tali berat di pusat.

Secara prinsip, kuadran laut Islam adalah nenek moyang langsung dari kuadran pelaut Eropa (mariner’s quadrant) yang mulai muncul di abad ke-16, sebelum akhirnya berevolusi menjadi sextant.

Astrolabe Laut: Ketepatan Astronomi di Gelombang Samudra

Selain kuadran, para pelaut Muslim juga mengadaptasi astrolabe untuk penggunaan maritim.

Versi daratnya yang rumit disederhanakan agar tahan di laut - bahan logamnya diperkuat, dan hanya fungsi dasar seperti pengukuran tinggi bintang yang dipertahankan.

Instrumen ini dikenal sebagai astrolabe laut (al-asṭurlab al-bahri).

Beberapa contoh asli ditemukan di Museum Lisbon dan Istana Topkapi, menunjukkan pengaruh kuat desain Islam di wilayah Iberia dan Afrika Utara.

Ketika bangsa Portugis dan Spanyol mulai berlayar menjelajahi dunia pada abad ke-15, astrolabe laut Islam menjadi alat standar di kapal-kapal Eropa.

Di tangan pelaut seperti Vasco da Gama, Magellan, dan Columbus, prinsip yang lahir di dunia Islam inilah yang menuntun mereka menembus samudra.

Jejak Intelektual: Dari Al-Farghani ke Eropa

Tidak hanya instrumen, konsep matematis dan astronomi Islam juga menjadi fondasi bagi sistem navigasi modern.

Karya Ahmad al-Farghani (Alfraganus), Jawāmi‘ ‘Ilm al-Nujūm, yang menjelaskan keliling bumi dan ketinggian bintang-bintang, diterjemahkan ke Latin dan digunakan oleh pelaut Eropa.

Begitu pula teori Al-Battani tentang sinus dan garis waktu astronomik yang menjadi dasar bagi sistem trigonometri navigasi.

Pengetahuan ini melintasi jembatan pengetahuan (al-qantara) melalui pusat-pusat penerjemahan seperti Toledo dan Palermo, hingga akhirnya membentuk ilmu navigasi Renaissance.

Dengan kata lain, ketika pelaut Eropa mengarahkan sextant mereka ke langit, mereka sebenarnya sedang menggunakan prinsip-prinsip yang telah dikembangkan ilmuwan Muslim berabad-abad sebelumnya.

Transformasi Menjadi Sextant

Sextant modern mulai dikenal pada abad ke-18 melalui karya John Hadley (Inggris) dan Thomas Godfrey (Amerika).

Instrumen ini mengukur sudut antara benda langit dan horizon melalui sistem dua cermin (reflecting mirrors) yang memungkinkan pengamatan lebih akurat bahkan di laut bergelombang.

Namun, Hadley tidak menciptakan prinsip baru; ia hanya menyempurnakan ide-ide yang telah ada.

Desain dasar sextant - busur 60°, skala derajat, alat bidik, dan prinsip pantulan cahaya - merupakan kelanjutan dari sistem pengukuran sudut dan horizon yang telah dikembangkan dalam tradisi falak Islam.

Sextant menjadi alat penting bagi pelaut sebelum teknologi berkembang pesat. Image: e-zara - pixabay.com



Para sejarawan sains seperti David A. King dan George Saliba mencatat bahwa banyak istilah teknis dan metode perhitungan sextant memiliki padanan dalam karya-karya Arab abad pertengahan.

Spirit Ilmiah di Balik Instrumen Laut

Lebih dari sekadar alat, sextant Islam mencerminkan semangat ilmiah dan spiritual yang khas dunia Islam.

Dalam pandangan ilmuwan Muslim, menatap langit untuk menentukan arah bukan hanya soal pelayaran, melainkan juga perenungan terhadap keteraturan ciptaan Tuhan.

Navigasi menjadi bentuk ibadah ilmiah - ibadah melalui ilmu.

Mereka melihat laut sebagai ayat Tuhan yang terbentang, dan bintang-bintang sebagai tanda bagi yang berpikir, sebagaimana firman Allah:

Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu agar kamu dapat petunjuk dengan bintang-bintang itu di kegelapan darat dan laut.” (QS. Al-An‘ām: 97)

Semangat inilah yang menjadikan ilmu falak Islam tidak terpisah dari nilai etika dan spiritualitas.

Revitalisasi Pengetahuan: Membangun Sextant Islam Modern

Kini, di berbagai lembaga astronomi Islam dan komunitas pendidikan seperti Padepokan Albiruni, muncul upaya untuk merekonstruksi sextant versi Islam sebagai instrumen edukatif.

Replika kuadran laut, kamal, dan astrolabe maritim dibuat kembali untuk mengajarkan prinsip dasar navigasi astronomik kepada generasi muda.

Selain sebagai alat peraga ilmiah, instrumen-instrumen ini menjadi simbol warisan pengetahuan yang menunjukkan bahwa dunia Islam adalah pelopor navigasi ilmiah global - jauh sebelum era modern menamai ulang sebagai inovasi Barat.

Dari Bintang ke Samudra, dari Islam ke Dunia

Sextant Islam adalah kisah tentang warisan yang menghubungkan langit dan laut, akal dan iman, Timur dan Barat.

Ia menunjukkan bahwa sains sejati tumbuh dari rasa ingin tahu universal dan kolaborasi lintas peradaban.

Ketika pelaut Muslim mengukur tinggi bintang Kutub di atas gelombang, mereka tidak hanya mencari arah ke pelabuhan, tetapi juga mencari makna keteraturan kosmos.

Dan ketika bangsa-bangsa Eropa berlayar menjelajahi dunia dengan alat yang lahir dari prinsip-prinsip itu, sesungguhnya mereka sedang melanjutkan tradisi ilmiah yang berakar dari Samudra Hindia dan langit Islam.

Sextant modern hanyalah bentuk baru dari warisan lama - warisan yang membuktikan bahwa ilmu adalah samudra tanpa batas, dan setiap peradaban hanyalah kapal yang berlayar di atasnya.

Comments0

Mari bangun diskusi bersama.

Type above and press Enter to search.

Chat WhatsApp